Keluarga saya adalah orang termiskin kedua di kampung. Makanan kami sehari-hari adalah tiwul (penganan yang terbuat dari tepung gaplek, dikukus dan dimakan dengan parutan kelapa atau gula). Walau keluarga kami miskin, saya dan kakak yang bersekolah di sekolah dasar yang sama, selalu menjadi juara kelas di setiap semester. Adik-adik kami waktu itu belum bersekolah.
Biarpun kehidupan kami miskin, Bapak selalu mengajarkan agar kami punya cita-cita tinggi. “Lakukanlah yang kamu mampu. Pupuk cita-cita setinggi-tingginya. Jangan pikirkan kondisi kita sekarang. Pikir suasana nanti saja, ketika cita-citamu tercapai”. Wejangan seperti itu sering saya dengar setap kali saya hendak tidur.
Pernah di suatu kesempatan, semua siswa di kelas diminta maju satu per satu untuk mengutarakan cita-citanya. Ketika giliran saya maju, “Nama saya Jamil, saya ingin jadi insinyur pertanian”. Kontan semua teman sekelas “koor” menertawai saya. Ada yang mengolok, “Anak orang miskin kok mau jadi insinyur pertanian, ora mungkin…ora mungkin”. Bahkan guru saya juga menasihati,”Jamil kalau membuat cita-cita jangan tinggi-tinggi, kalau terlalu tinggi nanti bagai “pungguk merindukan bulan””.
Sampai jam istirahat tiba olokan itu belum juga berhenti, Karena kesal kepalan tangan saya melayang ke muka teman yang mengolok saya. Saya pun berlari ke lapangan. Sekencang-kencang saya berlari. Tiba-tiba ada rasa digin dan pusing di kepala. Ada darah meleleh ke bagian kepala sebelah kanan. Rupanya salah seorang teman melempar sebatang bambu kearah kepala saya. Saya merasakan sakit yang luar biasa. Saya terus menangis. Setelah hari itu sampai dua pekan kemudian, saya tak mau masuk kelas lagi. Selain karena rasa sakit di kepala, saya takut ketemu teman-teman sekolah.
Di rumah, kedua orang tua saya selalu membesarkan hati saya. Keduanya kerap mengusap kepala dan memeluk saya sambil menasihati. Yang paling saya ingat dari nasihat itu, “Kamu jadi insinyur pertanian atau tidak itu tergantung kamu. Ayo buktikan kepada semua orang yang mengolok-ngolok kamu bahwa kamu bisa menjadi insinyur pertanian, Kita sudah miskin harta jadi jangan miskin cita-cita”,
Setelah hari itu, orang saya sering mengenalkan saya kepada orang dengan mengatakan, “Ini anak saya, calon insinyur pertanian” Kebiasaan ini terdengar ke telinga teman-teman sekolah saya. Mereka juga sering menyapa saya dengan :”Hai insinyur pertanian!” Meskipun tahu makna insinyur pertanian yang keluar dari mulut orang tua dan teman saya itu berbeda, saya tak peduli. Semua kata itu saya anggap sebagai dukungan moril.
Kini, sudah tiga puluh tahun lebih kejadian itu berlalu. Di hari ulang tahun yang ke-39, sengaja saya pandangi foto saat wisuda dulu. Sambil tersenyum, saya meraba kepala bagian kanan. Saya merasakan ada “pitak” (bekas luka di kepala) disana. Ya, “pitak” yang saya raba itu adalah “pitak insinyur pertanian”. Pitak itu adalah bukti atas kekuatan sebuah mimpi (cita-cita).
*Jamil Azzaini*
Senin, 25 Februari 2008
Langganan:
Postingan (Atom)